Sabtu, 12 November 2011

Rivalitas Antar Klub Inggris: Kala Sepakbola Menandingi Agama

Bagi sebagian orang, sepakbola tidak lah lebih dari sekedar 22 orang yang saling mengejar bola di lapangan. Bagi beberapa fans klub Liga Inggris, sepak bola menjadi bagian hidup yang siap mereka bela dengan nyawa.
Contoh saja permusuhan antara Liverpool FC dan Manchester United. Alkisah, pada permulaan abad industri di Inggris, kota Manchester dikenal sebagai pusat industri manufaktur sedang Liverpool memiliki pelabuhan yang penting untuk menunjang industri manufaktur tersebut. Pada tahun 1894, kota Manchester membuka sebuah kanal kapal sendiri, sehingga kapal-kapal yang membawa barang tidak perlu lagi singgah di Liverpool.
Hal ini menyebabkan banyak orang di Liverpool, yang menggantungkan diri pada pelabuhan, kehilangan pekerjaan dan menciptakan angka pengangguran yang tinggi.  Liverpudlians mulai membenci para Mancunians yang merusak kehidupan mereka, dan lahirlah rivalitas antar kota Manchester-Liverpool, yang juga melatarbelakangi salah satu persaingan antar dua klub sepakbola terbaik dunia.
Saat era industri mengalami penurunan pada tahun 1970-an dan 1980-an, penduduk kota Liverpool berhasil melampiaskan inferioritas mereka selama bertahun-tahun karena Liverpool FC merajai Liga Inggris, bahkan menjuarai Piala Champions 4 kali, sedang rivalnya, Manchester United, mengalami masa-masa terkelam dalam sejarah, dimana mereka mencicipi degradasi. Inilah mengapa para suporter Liverpool sangat bangga dengan rekor 18-5 (18 kali menjuarai liga dan 5 kali merebut trofi Champions), yang hampir kesemuanya direngkuh pada era lampau. Pada tahun 2008, Uni Eropa menganugerahkan gelar European Capital of Culture kepada kota Liverpool atas pencapaian mereka di bidang budaya. Suporter Manchester United membalas dengan memajang besar-besar banner bertuliskan ”Manchester: European Capital of Trophies” di Old Trafford.
Selain Liverpool dan rival sekota Manchester City, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Man Utd mempunyai rivalitas turun temurun dengan Leeds United yang sejarahnya bisa dirunut hingga abad ke-15.
Man Utd dan Leeds United merupakan representasi modern dari House of Lancashire dan House of Yorkshire, dua pihak yang terlibat perang sipil memperebutkan takhta Kerajaan Inggris. Perang tersebut dinamakan Wars of The Roses karena masing-masing pihak disimbolisasikan dengan mawar merah dan mawar putih. Ini juga alasan kenapa Man Utd berseragam merah, sedang Leeds memiliki kostum berwarna putih.
Walau Leeds sekarang sudah tenggelam ke League One, dua kasta di bawah Premiership, perseteruan kedua tim masih terus berlangsung. Tidak terhingga pedihnya rasa sakit suporter Leeds saat salah satu pahlawan mereka, Alan Smith, hijrah ke Old Trafford setelah mereka terdegradasi. Belum lagi, sebelumnya Rio Ferdinand juga hengkang ke Man Utd dalam transfer yang disebut manajer Leeds kala itu, David O’Leary, “Memberi Sir Alex Ferguson gelar juara liga”.
Sejarah rivalitas di luar lapangan tidak hanya dimiliki klub-klub besar. Seperti kita ketahui, 2 minggu silam pecah kerusuhan antara suporter West Ham dengan suporter Millwall dalam pertandingan yang dilabeli East London Derby (walau Millwall sebenarnya berada di bagian tenggara). Salah seorang bekas pentolan hooligan West Ham yang sekarang menjadi penulis buku, Cass Pennant, mengatakan, “Semua orang tahu ada sesuatu yang akan terjadi bila West Ham dan Millwall bertemu”.
Bila ditelusur ke belakang, West Ham dahulu bernama Thames Ironworks FC, sebuah klub yang dibentuk dari serikat pekerja galangan kapal (menjelaskan mengapa lambang West Ham adalah palu dan mereka disebut The Hammers), sedang Millwall bernama Millwall Ironworks. Mereka berada dalam kondisi yang baik satu sama lain sampai pada tahun 1920-an ketika para pekerja Millwall Ironworks menolak ikut dalam aksi mogok kerja buruh besar-besaran yang dipelopori oleh Thames Ironworks. Sejak itu, rivalitas terbentuk antara mereka dan mendarah daging kepada para suporter keduanya.
Satu lagi rivalitas besar di Inggris adalah antara Newcastle United dan Sunderland. Newcastle sekarang terbenam di divisi Championship, tapi yang menjadi masalah bagi mereka adalah bahwa tetangganya Sunderland, berada satu tingkat di atas mereka. Kedua kota terlibat dalam sebuah persaingan yang diberi label Tyne-Wear Derby yang (lagi-lagi) berakar dari sejarah masa lampau. Dalam masa perang sipil Inggris, Newcastle menjadi pendukung setia royalis dari Raja Inggris kala itu, Charles I, sedang Sunderland menjadi basis massa parlementarian dari Oliver Cromwell yang berseberangan dengannya.
Fanatisme dan rasa rivalitas antar fans tim Inggris amat lah kental, contoh saja Portsmouth yang kini terpuruk di dasar klasemen Liga Inggris dan menjadi salah satu kandidat degradasi musim ini, tapi salah seorang fans Pompey menulis di Internet, ”Setidaknya kami masih bisa tersenyum karena Southampton juga terpuruk di League One”. Kedua klub berada di kota pelabuhan, dengan Southampton sebagai pelabuhan sipil, sedang Portsmouth adalah markas besar armada angkatan laut Kerajaan Inggris. Berbagai privilege yang dimiliki Portsmouth sebagai markas angkatan laut membuat iri tetangganya dari Southampton dan memberi percikan api bagi persaingan keduanya.
Masih banyak kasus-kasus rivalitas antar klub Inggris yang berakar jauh dari luar lapangan hijau. Menilik latar belakang tersebut, bukanlah suatu hal yang mengejutkan bila sepakbola di Inggris bagaikan agama bagi para penggemarnya. Sepakbola dipandang sebagai sebuah medan peperangan modern yang berimbang di mana pemenang bukan lagi ditentukan oleh pertumpahan darah, tapi oleh siapa yang lebih banyak mencetak gol ke gawang lawan.
Tidak heran, seorang manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, pernah mengatakan, ” Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more important than that”.

7 Hooligan Inggris Paling Berbahaya


Millwall Bushwackers

Mereka adalah supporter fanatik klub sepakbola Millwal. Nama Bushwackers mereka ambil dari "plesetan" nama penyerbuan ketika perang saudara di Amerika. Dan nggak ada yang mau cari gara-gara dengan Hooligan satu ini. Mereka bahkan punya senjata khusus yang dirancang sendiri untuk menyerang supporter lawan, mereka menyebutnya dengan "The Millwal Brick".

Pada puncak kegiatan mereka di 1980-an, Bushwackers kerap membuat ulah serius selama pertandingan, dan bertanggung jawab atas beberapa kerusuhan terburuk dalam sepakbola Inggris. Dan mereka bangga dengan kelakuannya itu.

Walaupun setelah itu mereka tidak "segarang" sebelumnya, namun 2 supporter Wolverhampton tewas dibuatnya. Ditusuk oleh Pisau Stanley. Sementara di tahun 2002 lebih banyak lagi pertumpahan darah ketika malam pertandingan play off versus Birmingham City. Polisi menggambarkan kejadian malam itu sebagai kekerasan terburuk dan menjadi reputasi Bushwackers yang tidak akan tertandingi.
 
Birmingham Zulus

Kembali ke tahun 70-an, teriakan "Zulu, Zulu!" dijalanan Birmingham hanya memiliki arti ; Ksatria Zulu, Birmingham City yang terbaik dan provokasi untuk menantang bertempur.

Dikenal karena anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, Hooligan satu ini adalah salah satu yang paling ditakuti era 80-an - dan mereka tetap penyebab utama kerusuhan. Bentrokan kekerasan seringkali terjadi dengan pendukung klub rival Aston Villa pada hari derby, dan Zulu yang dikenal keras mempertahankan wilayah mereka dari serangan Hooligan lain.

Di antara sekian banyak insiden yang dipicu oleh Ksatria Zulu ini adalah serangkaian kerusuhan di Cardiff pada tahun 2001 yang menyebabkan satu Pub hancur, satu orang diserang dan sembilan lagi dibawa ke rumah sakit.

Kemudian pada tahun 2006, sekitar 200 fans Birmingham merobohkan pagar yang memisahkan mereka dari fans Stoke setelah pertandingan Piala FA, perang pun pecah, dan polisi tidak luput dari serangan Zulu. Seorang perwira senior menggambarkan kerusuhan ini sebagai "kekerasan ekstrim".


Aston Villa Hardcore
Hooligan terkenal lainnya yang berbasis di Birmingham adalah Aston Villa Hardcore. Berafiliasi dengan klub Aston Villa atau dikenal sebagai The Villains. Dan reputasi mereka juga tidak kalah sengitnya dibanding rival sekotanya.

Pada "Pertempuran Rocky Lane" pada tahun 2002 menyebabkan beberapa gangguan serius di daerah Aston setelah pertandingan antara Villa dan Birmingham City yang menyebabkan penangkapan 15 orang Hooligan.

Kemudian pada tahun 2005, anggota Hooligan, Steven Fowler, yang telah dipenjarakan selama enam bulan dalam perang tahun 2002, harus kembali mendekam di penjara untuk 12 bulan kemudian karena terlibat dalam serangan terorganisir antara Hardcore Villa dan headhunter Chelsea di King's London's Cross tahun 2004.

Juga pada tahun 2004, beberapa Hooligan Villa terlibat dalam pertempuran dengan fans Quens Park Ranger di luar Villa Park di mana seorang pramugara meninggal ketika menyeberang jalan.



Inter City Firm

Sekelompok hooligan yang aktif dari tahun 1970an sampai tahun 1990, yang mereka menamainya dengan Inter City Firm (ICF). Supporter fanatik dari klub London, West Ham United.

Dinamakan Inter City sesuai dengan nama kereta yang mereka pakai untuk menyaksikan pertandingan away. Inter City Firm mempunyai kebiasaan unik dimana mereka meninggalkan kartu di tubuh lawan yang mereka serang dengan tulisan yang tertera: "Selamat, Anda baru saja bertemu dengan ICF."

Meskipun sama-sama menyukai kekerasan, Cass Pennant, seorang yang berpengaruh di ICF menyatakan ICF berbeda dengan Hooligan lainnya yang umumnya mereka rasis dan berhaluan Neo-Nazi. Namun tetap saja mereka bukanlah teman-teman yang baik.

Banyak contoh ekstrim perilaku kekerasan mereka telah didokumentasikan, bentrokan sering terjadi dengan Hooligan saingannya Bushwackers Millwall.


6.57 Crew
Dihubungkan dengan tim Liga Utama Inggris Portsmouth FC, dan dinamai berdasarkan waktu kereta yang membawa mereka ke Stasiun Waterloo London pada hari Sabtu yaitu pukul 06:57. 6,57 Crew adalah salah satu kumpulan Hooligan terbesar selama tahun 1980-an, dan telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri.

Pada tahun 2001, mereka bertempur dengan fans Coventry City di kandang Conventry, merobek kursi dan melemparkan "molotov" ke lawan mereka.

Pada tahun 2004, 93 anggota mereka ditangkap - termasuk anak 10 tahun yang menjadi Hooligan termuda dalam sejarah Hooliganisme Inggris - mereka berulah dan memulai kerusuhan massa sebelum dan setelah pertandingan melawan saingan Southampton, di mana polisi diserang dan toko-toko dijarah.

Lebih dari seratus hooligan Portsmouth dilarang bepergian ke Piala Dunia 2006 di Jerman karena dinyatakan bersalah atas kejahatan yang berhubungan dengan sepak bola.



The Red Army
Manchester United adalah salah satu klub sepakbola terbesar dengan permainan yang indah, sehingga supporter fanatik mereka, The Red Army, dapat dikatakan memiliki jumlah terbesar dengan tingkat Hooliganisme tinggi di Britania.

Sementara nama The Red Army juga digunakan untuk merujuk kepada fans Man U pada umumnya, pada pertengahan 70-an nama itu menjadi identik dengan beberapa insiden menentukan dalam hooliganisme Inggris.

Bentrokan massal terekam pada tahun 1985. Kala itu The Red Army berseteru dengan Hooligan West Ham disekitaran kota Manchester.


Chelsea Headhunters
Dihubungkan dengan Klub kota London, Chelsea, Headhunters merupakan klub Hooligan rasis yang juga kadang di kaitkan dengan Front Nasional dan Paramiliter Combat 18.

Pada 1999, headhunter telah disusupi oleh seorang reporter BBC yang menyamar sebagai anggota tapi punya tato singa yang salah (Fans berat Chelsea pasti tau Logo Singa Chelsea) - kesalahan berisiko yang membuat geram para Headhunters.

Mantan pimpinan Headhunters, Kevin Whitton, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1985 setelah melakukan suatu serangan yang dianggap sebagai salah satu insiden hooliganisme sepak bola terburuk yang pernah ada di Inggris. Ketika itu Chelsea mengalami kekalahan, Whitton dan lainnya masuk ke sebuah Bar sambil berteriak, "Perang, perang, perang!!". Beberapa menit kemudian manager bar yang berasal dari Amerika tersungkur sekarat dan seorang Hooligan berteriak kepadanya, "Kalian orang Amerika datang ke sini dan mengambil pekerjaan kami!"

Pertemuan WEST HAM Vs MillwallJING 6/08/2009

Hooliganisme yang mencoreng wajah persepakbolaan Inggris pada dekade 80-an berangsur mereda setelah memasuki era Premiership pada tahun 1992. Tapi, clash yang terjadi antara pendukung West Ham United dan Millwall 25-8-2009 menunjukkan kepada kita bahwa hooliganisme sebenarnya tidak benar-benar hilang.

Kekerasan antara pendukung sepak bola di Inggris telah banyak diangkat menjadi cerita di layar kaca, Green Street Hooligans, Football Factory dan Hooligans adalah tiga titel yang bertema kekerasan hooliganisme. Pada saat itu, dunia sepak bola Inggris dikejutkan dengan kembalinya aksi Hooliganisme di Britannia Raya.

Sejarah kekerasan antara pendukung West Ham dan Millwall sering menjadi inspirasi cerita fiksi, semalam ketika kedua tim bertemu di laga putaran kedua Piala Liga, suasanapun berlangsung panas. Tidak peduli bahwa Millwall sekarang berstatus sebagai klub League One, dua kasta di bawah Premiership. Bukanlah hal yang mengejutkan bila pertandingan keduanya beroktan tinggi, tapi siapa yang mengira bahwa kerusuhan ala tahun 1980-an akan terulang?

West Ham memulai pertandingan pada waktu itu dalam keadaan duka. Salah satu pemain belakang mereka, Calum Davenport, diserang di rumahnya, dimana kakinya ditikam dan terancam tidak bisa bermain lagi. Tidak lama setelah itu ayah gelandang Jack Collison meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas kala ia akan menyaksikan anaknya berlaga melawan Tottenham Hotspurs hari Minggu silam.

Sebelum pertandingan, terlihat seluruh pemain West Ham mengenakan arm band hitam untuk menunjukkan bela sungkawa atas kematian ayah Jack Collison. Sedikit banyak, hal ini turut mempengaruhi emosi, baik para pemain maupun suporter, apalagi Jack Collison memutuskan untuk tetap bermain meskipun sedang dilanda duka.
Ketika Neil Harris mencetak gol bagi Millwall pada menit 22, suporter The Lions mulai bernyanyi ”Oh South London is wonderful...” dan diikuti dengan “Oh East London is like Bengal, it’s like the streets of Delhi” untuk mengejek pendukung West Ham, mencemooh daerah mereka yang dikenal sebagai kawasan hunian para imigran Asia, terutama India. Pendukung fanatis West Ham pun membalas mengejek, tapi bagi saya semua masih aman aman saja. Ejek mengejek antara supporter adalah hal yang biasa.




Pendukung West Ham yang frustrasi selama hampir 90 menit mendadak larut dalam histeria setelah pada menit 87, Junior Stanislas menyamakan kedudukan bagi tim asuhan Gianfranco Zola dan inilah awal perkara, karena beberapa fans West Ham terlarut dalam kepuasaan dan turun memasuki lapangan sehingga mengakibatkan pertandingan terhenti sejenak.

Skor imbang 1-1 memaksa kedua tim bermain dalam perpanjangan waktu. Stanislas lagi-lagi mencetak gol, kali ini dari titik putih pada menit 98, dan membakar ribuan suporter West Ham yang kembali menginvasi lapangan, kali ini jumlahnya lebih banyak dari gol pertama. Pemain Millwall yang gentar akan pemandangan yang dapat membahayakan diri mereka tersebut memilih untuk berdiri di pinggir lapangan.

Pendukung West Ham berbalik mengejek suporter Millwall dengan nyanyian yang dijawab langsung oleh suporter Millwall dengan mencabuti bangku stadion dan melemparkannya ke arah pendukung West Ham. Saya dan teman teman yang berada di sektor VIP tidak dalam kondisi bahaya, tapi terlihat beberapa yang duduk berseberangan dari para penggemar Millwal memang sudah berniat perang dan saling melempari. Polisi yang jumlahnya jauh lebih sedikit kebanding supporter Millwal kewalahan tapi tetap mampu memisahkan mereka dari para penggemar West Ham. Saya tidak menyangka bahwa di luar stadion kejadian yang sama sedang berlangsung dan polisi sempat kehilangan kendali ketika supporter kedua tim saling bertempur dan merusak lingkungan sekitar.
Pertandingan berakhir dengan keunggulan West Ham. Zavon Hines sempat menambah kemenangan The Hammers lewat golnya pada menit 100 tapi apa yang terjadi setelah peluit panjang tanda pertandingan usai ditiupkan jelas adalah sebuah kekalahan. Ya, kekalahan sepakbola atas hantu kekerasan.



Begitu wasit meniup peluit akhir, lebih banyak lagi suporter West Ham yang menerobos masuk lapangan. Polisi dan steward pertandingan berusaha keras mencegah pecahnya kerusuhan di dalam stadion namun mereka tetap saja kehilangan kendali atas keadaan.

Beberapa hooligans bahkan mencoba bersalaman dengan para pemain, padahal kebanyakan pemain justru terkejut dan takut melihat aksi ini. Apalagi jika mendengarkan diskusi beberapa jajaran direksi di belakang saya yang ketakutan jika perjuangan susah payah mereka akan menjadi sia sia karena West Ham bisa saja didiskualifikasi dari kompetisi. Sungguh sebuah aksi kebodohan yang sulit dimengerti.

Setelah polisi berangsur menguasai keadaan dalam lapangan kami mendapat peringatan untuk tidak meninggalkan stadion dulu, rupanya kondisi yang lebih buruk terdapat di luar stadion: mobil dijungkirbalikkan, bar yang diporak-porandakan, dan batu yang bertebaran di mana-mana. Bahkan seorang saksi mata mengatakan ia melihat seseorang yang terkapar setelah kepalanya dihantam oleh balok. Saksi mata lainnya menyaksikan bagaimana suporter Millwall mengerubungi seorang polisi anti huru-hara yang mengendarai kuda dan berusaha untuk mendorong kuda tersebut sampai jatuh.

Salah satu teman saya tidak jadi hadir menemani saya di pertandingan ini karena begitu ia tiba di stasion kereta api bawah tanah di Upton Park, polisi sudah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa menjamin keselamatannya. Tadinya saya sempat meledek dia sebagai seorang pengecut, tapi sekarang saya bersyukur ia tidak jadi datang, karena ia harus berjalan kaki melalui area yang kini sudah menjadi area tempur kedua penggemar.
Manajer West Ham, Gianfranco Zola, nampak shock akibat apa yang ia saksikan malam itu. ”Dalam tujuh tahun di Chelsea dan 11 bulan di West Ham, saya tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Saya sangat terkejut dengan semua ini. Kita semua tahu bahwa pertandingan ini sangat berarti bagi kedua kelompok suporter, tapi tidak ada yang menyangka akan berakhir seperti ini”.

Asosiasi sepak bola Inggrispun mengambil tindakan cepat dengan memberi pernyataan bahwa semua orang yang yang terlibat dalam kerusuhan semalam, baik di luar dan dalam stadion, akan dilarang untuk menghadiri pertandingan sepakbola seumur hidup.

Peristiwa ini menyadarkan pemerintah Inggris bahwa menempatkan Stewards dan bukan polisi akan berkonsekuensi tinggi, terutama dalam partai yang memiliki sejarah kekerasan fans yan gtinggi.

Pertandingan semalam seharusnya menceritakan keberanian seorang Jack Collison yang mengesampingkan rasa duka demi menjalankan tugasnya. "That's what my dad would've wanted" atau "Ayah saya pasti menginginkan saya untuk terus bermain" ujar Collison. Sayangnya kisah keberanian itu malah dirusak oleh beberapa oknum yang mengaku pendukung dari klub itu sendiri.

Rekan rekan Collison mengenakan arm-band hitam untuk berkabung atas perginya ayah Collison, seharusnya arm-band itu duganakan untuk mengenang hilangnya integritas sepak bola dan munculnya kembali kebodohan hooliganisme.



Jumat, 11 November 2011

INFO & SEJARAH WEST HAM UNITED FOOTBALL CLUB

Berdiri: 1900
Alamat: Boleyn Ground, Green Street, upton Park, London, E13 9AZ England
Telepon: 020.854.82.748
Faksimile: 020.854.82.700
Surat Elektronik: customerservices@westhamunited.co.uk
Laman Resmi: http://www.whufc.com
Ketua: David Sullivan, David Gold
Direktur: Daniel Harris, Bob Ellis
Stadion: Boleyn Ground (Upton Park)
Sejarah Singkat
Cikal bakal klub dimulai ketika para pekerja Thames Ironworks mendirikan tim sepakbola pada 1895. Tim berlaga di beberapa kompetisi amatir dan pernah menjuarai beberapa turnamen lokal. Tiga tahun berselang, klub beralih status menjadi profesional dan mulai berlaga di Divisi Dua Southern League. Pada 1899, warna seragam klub yang biru diubah menjadi paduan marun dan biru muda karena terinspirasi sukses Aston Villa, juara liga saat itu. Namun, masalah finansial menghampiri klub dan pada 1900, klub dirombak dan diluncurkan kembali dengan nama baru, West Ham United FC.

Musim 1922/23, West Ham sukses meraih promosi ke Divisi Satu Football League, kasta tertinggi kompetisi sepakbola Inggris saat itu. Tak hanya itu, West Ham juga mampu melaju ke babak puncak Piala FA, yang untuk kali pertama digelar di Wembley, dikenal dengan White Horse Final. Laga puncak tersebut dipenuhi hingga 200.000 penonton dan lapangan harus "dibersihkan" dari lautan manusia oleh seekor kuda putih bernama Billie. Sayangnya, West Ham dikalahkan Bolton Wanderers, 2-0, pada partai itu.

West Ham dianggap sebagai salah satu kunci kesuksesan Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966. Empat gol yang diciptakan Inggris di final merupakan kontribusi dua pemain West Ham, Martin Peters dan Geoff Hurst. Kapten tim saat itu, Bobby Moore, adalah seorang legenda West Ham. Namun, prestasi tim mulai menurun periode 1970-an, ketika klub harus turun naik divisi. Ketika Liga Primer digulirkan, West Ham selalu menjadi bagian dari anggota top tier kecuali dalam tiga musim. Prestasi terbaik West Ham pada periode ini adalah dengan menempati peringkat kelima musim 1998/99 saat masih ditangani Harry Redknapp.

Di Inggris, reputasi West Ham juga dikenal sebagai klub yang mencetak pesepakbola top. Sejak 1950-an, klub mendirikan pusat pembinaan pemain muda yang dibentuk manajer Ted Fenton. Hasil pembinaan tersebut menciptakan para pemain seperti Moore, Peters, dan Hurst, yang menjadi anggota tim juara dunia 1966. Pada periode selanjutnya, akademi memberikan Hammers banyak pemain ternama, seperti Trevor Brooking, Tony Cottee, Paul Ince, Rio Ferdinand, Joe Cole, Michael Carrick, Glen Johnson, hingga Frank Lampard.